Materi Filsafat

Filsafat-

BELAJAR FILSAFAT DI TENGAH PANDEMI COVID-19


Oleh:
Hendar Riyadi
Universitas Muhammadiyah Bandung
Emal: hendarriyadi@gmail.com
Kami kebetulan semester ini mengampu mata kuliah Filsafat. Tepatnya, mata kuliah Filsafat Ilmu. Belajar filsafat memang terkadang cukup merepotkan. Terutama bagi kalangan yang tidak akrab dengan dunia pemikiran. Lieurlah. Belajar filsafat itu memusingkan. Banyak istilah-istilah yang susah dipahami. Tidak cukup satu kali membaca bukunya. Itu adalah sebagian ekspresi mahasiswa yang belajar (mengikuti perkuliahan) filsafat.
Memang tidak dipungkiri. Belajar filsafat itu cukup memusingkan. Banyak istilah yang asing. Tidak cukup satu kali atau dua kali untuk mempelajarinya. Sekali lagi, itu memang tidak dapat disangsikan. Kami mencoba mendaftar istilah-istilah dalam filsafat yang akan dibelajarkan. Ada sekitar 70 lebih istilah yang harus dipelajari untuk masuk ke pemikiran filsafat.
Ada tiga istilah dasar yang dikenal dalam filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Mahasiswa yang baru belajar pasti akan pusing. Apa itu ontologi, epstemologi dan apa itu aksiologi. Bila belajar memahami ontologi, maka mahasiswa akan berkenalan dengan istilah metafisika, teologi, psikologi, dan kosmologi. Asumsi, probability dan yang lainnya. Ada juga istilah monisme, dualisme, pluralisme, agnotisme dann nihilisme. Istilah-istilah yang cukup memusingkan. Ketika masuk mempelejari epistemologi, maka siap-siap untuk mencerna istilah-istilah yang juga tidak mudah untuk dipahami. Misalnya, istilah idealisme dan realisme. Rasionalisme dan empirisme. Positivisme dan kritisisme. Lalu, ada kebenaran absolut dan relatif. Ada teori kebenaran koherensi, korespondensi dan pragmatis. Ada juga logika deduksi dan logika induksi, dsb. Lalu, bila masuk pada kajian aksiologi, maka mahasiswa akan mengenal istilah etika dan estetika. Ada teori etika hedonisme, formalisme, utilitarianisme, kantianisme, teori etika religi dan yang lainnya. Semua itu, sekali lagi, memang cukup memusingkan.
Tapi, meski cukup memusingkan, kita toh tetap harus belajar. Paling tidak itu untuk menggugurkan kewajiban kuliah. Lalu, kenapa harus repot-repot mempelajari filsafat ilmu? Apalagi di tengah wabah coronavirus atau covid-19 sekarang ini. Sudah memahaminya sulit, belajarnya pun harus pakai online (daring). Tambah stres lagi karena tidak punya kuota internet. Wah semakin memusingkan.

Abad Pengetahuan
Baiklah, saya akan mencoba bercerita tentang apa pentingnya belajar filsafat ilmu. Kenapa kita harus repot-repot mempelajarinya? Pertama-tama kami harus menunjukan bahwa sebagian besar kehidupan kita saat ini ditentukan oleh ilmu pengetahuan. Kita menyaksikan dengan jelas, saat hampir seluruh dunia menghadapi pandemi covid-19. Semuanya, menempatkan para dokter dan tenaga medis di garda terdepan melawan pandemi covid-19. Sebab, dokter dan tenaga medislah yang dianggap lebih tahu dan memiliki ilmu pengetahuan otoritatif dalam bidang kesehatan dan medis. Khususnya mengenai penanggulangan wabah covid-19. Artinya, pandangan dokter atau ahli kesehatanlah yang harus didengar. Sekalipun, tampak bertentangan dengan iman atau keyakinan keagamaan. Sebaliknya, iman (keyakinan keagamaan) dituntut untuk mendukung dan memperkuat temuan dokter dan ahli kesehatan. Misalnya, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan otoritas keagamaan dalam Ormas menyerukan himbauan yang sama untuk mengambil jarak sosial (social distancing) atau jarak fisik (physical distancing). Social distancing atau physical distancing yang dimaksudkan adalah upaya mengurangi kontak jarak dekat dengan banyak orang. Physical distancing ini dilakukan dengan tidak pergi ke tempat-tempat ramai, seperti pusat pembelanjaan, pasar, bioskop, kantor, kampus atau sekolah. Tujuannya untuk mencegah meluasnya penyebaran virus corona.
Physical distancing juga diterapkan di tempat-tempat ibadah. Masjid, gereja, pure dan yang lainnya. Dalam Islam, shalat berjamaah di masjid misalnya, diusahakan mengambil jarak fisik. Tidak berdempetan. Sekalipun dalam syariatnya, shalat berjamaah harus rapat barisan shafnya. Bahkan kewajiban shalat Jumat yang melibatkan banyak orang di masjid, sedapat mungkin ditiadakan dan diganti dengan shalat zhuhur di rumah. Tidak hanya itu, himbauan physical distancing ini juga menghentikan sejumlah tradisi keagamaan, seperti berjabat tangan (bersalaman), berkunjung kepada keluarga. Melayat tetangga yang sakit atau meninggal, serta dilarang menghadiri undangan pernikahan. Demikian itu menunjukan saran ahli kesehatan harus didengar. Para alim ulama dan asatidz harus mengikuti himbauan para ahli kesehatan tersebut. Dengan kata lain, begitu kuatnya ilmu pengetahuan mengendalikan kehidupan sosial termasuk kehidupan keagamaan.
Dalam aspek kehidupan yang praktis, kita juga sangat tergantung pada produk-produk ilmu pengetahuan (teknologi). Misalnya, kita saat ini hampir sulit untuk melepaskan diri dari teknologi Hp, TV, komputer, internet, serta teknologi-teknologi informatika dan komunikasi lainnya. Berbagai produk ilmu pengetahuan tersebut seolah menjadi pakaian keseharian yang selalu melekat dalam kehidupan. Begitu juga dengan temuan-temuan teknologi di bidang transfortasi, mulai dari kendaraan roda dua, empat hingga pesawat terbang. Melalui temuan-temuan teknologi super canggih di bidang ini, manusia di zaman kita sekarang bukan saja dapat menembus bumi dan lautan, tetapi juga dapat menjelajah ruang angkasa. Hal yang sama kita juga melihat berbagai temuan teknologi di bidang kedokteran dan energi. Dalam dunia medis dan kedokteran, kita menyaksikan perangkat-perangkat teknologi canggih yang dapat mendeteksi setiap ruang dalam tubuh. Apakah terpapar covid-19 atau tidak, misalnya. Sedang dalam pengembangan energi, kita dapat melihat berbagai temuan teknologi modern dalam perminyakan, pembangkit listrik, baik dengan menggunakan energi bahan bakar minyak dan batu batara, menggunakan gas, panas bumi, matahari, hingga energi angin dan nuklir.
Seluruh fakta di atas menunjukan bahwa ilmu pengetahuan saat ini telah menjadi semacam determinant factor (faktor yang menentukan) kehidupan. Bagaimana cara kita menjalani hidup dan bagaimana membentuk lingkungan kita. Karena itu, tidak berlebihan bila Francis Bacon, seorang empirisis Inggris, menyebut ilmu sebagai kekuatan (knowledge is power). Melalui ilmu pengetahuan kita tidak hanya dapat menjelaskan apa yang terjadi pada masa sekarang, tetapi dapat menjangkau jutaan bahkan milliaran tahun yang lalu. Kita misalnya, mengenal ilmu astrofisika dan geofisika. Melalui astrofisika kita dapat mengetahui perkembangan pembentukan bumi, tata surya dan alam semesta. Sedang melalui geofisika kita dapat mengetahui perkembangan pegunungan, benua dan lautan. Kita juga mengenal ilmu biokimia dan biologi evolusioner. Melalui ilmu ini kita dapat mengetahui dan menjelaskan perkembangan kehidupan manusia. Belakangan neuroscience (ilmu syaraf) berkembang cukup populer di kalangan ilmuwan. Melalui ilmu ini dapat diungkap berbagai gejala kesadaran manusia, termasuk kesadaran tentang Tuhan yang masih diperdebatkan.
  Tidak hanya menjelaskan perkembangan alam semesta dan manusia, ilmu juga dapat berbicara tentang hal di luar pengalaman, seperti tentang atom, molekul, dan partikel yang menjadi kajian mekanika kuantum. Ilmu ini sangat bermanfaat untuk menjelaskan perilaku atom dan partikel subatomik, seperti proton, neutron dan elektron yang tidak mematuhi hukum-hukum fisika klasik. Malah ilmu juga dapat menjangkau keberadaan yang tidak teramati. Kekuatan terpenting dari semua ilmu itu adalah bahwa ilmu dapat menemukan prinsip-prinsip dasar dan gagasan tentang hukum alam sehingga dapat mempermudah hidup manusia dalam pencapaian peradabannya. Menemukan prinsip-prinsip dasar dan gagasan tentang hukum alam berarti menemukan pengetahuan dan kehendak Tuhan untuk tujuan penciptaan-Nya.
Namun begitu, harus diakui bahwa ilmu pengetahuan bukan segalanya. Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dikembangkan manusia modern ternyata tidak dapat menahan penyebaran wabah virus corona yang kecil. Para ahli kesehatan dan medis kewalahan menghadapinya. Hampir seluruh akvitas masyarakat terhenti. Bandara terhenti. Sekolah dan kampus terhenti. Pusat-pusat perbelanjaan terhenti. Kantor-kantor terhenti. Pendeknya, hampir seluruh kegiatan manusia terhenti gara-gara virus kecil tersebut. Sekali lagi, ilmu pengetahuan bukanlah segalanya. Masih banyak misteri-misteri kehidupan yang belum diungkap oleh ilmu pengetahuan. Karena itu, banyak kaum agamawan yang mengingatkan bahwa pandemi civid-19 ini merupakan peringatan Tuhan atas keangkuhan pengetahuan manusia yang abai atas aspek-aspek transendensi atau ketuhanan dan merusak sakralitas alam semesta.
Misalnya, kita menyaksikan perkembangan ilmu pengetahuan yang justru melahirkan dampak negatif yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Ancaman nuklir, senjata kimia, dan perangkat pemusnah massal lainnya. Dampak negatif lainnya adalah rusaknya sistem lapisan ozon dan terjadinya pemanasan global (global warming) akibat penggunaan teknologi tertentu, baik dalam rumah tangga maupun industri-industri besar. Dalam aspek tertentu, temuan-temuan teknologi ternyata juga melahirkan pengekangan atas kebebasan atau hak privasi warga seperti dalam bentuk penyadapan dan kriminalitas lainnya. Pendek kata, ada persoalan etika atau moralitas dalam dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.

Berpikir Tingkat Tinggi
Terlepas dari dari semua itu. Lalu apa hubungannya dengan belajar filsafat ilmu. Kenapa harus repot-repot belajar filsafat. Bila menyimak paparan di atas, ada tuntutan keras kepada kita untuk mampu mengembangkan berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Menghadapi wabah covid-19 misalnya, memerlukan kebijakan yang ektra hati-hati. Jika salah menangani, maka akan banyak korban yang terpapar. Karena itu, perlu berpikir tingkat tinggi. Para ahli kesehatan dituntut untuk berpikir tingkat tinggi. Pemerintah dituntut untuk berpikir tingkat tinggi. Begitu juga dengan para ulama dan masyarakat, dituntut untuk berpikir tingkat tinggi.
Para ahli kesehatan lalu mempelajari cara hidup dan penyebaran virus corona tersebut. Melakukan eksperimen-eksperimen di laboratorium untuk menemukan obatnya. Melahirkan berbagai hipotesis. Kemudian hipotesis itu diuji kembali dilaboratorium. Begitu seterusnya, sampai akhirnya menemukan cara dan obat yang tepat untuk menanggulangi wabah covid-19. Itulah berpikir tingkat tinggi atau dikenal dengan cara berpikir ilmiah.
Pemerintah mencoba membuat kebijakan-kebijakan perlindungan dari wabah covid-19. Mereka melakukan kajian-kajian dari berbagai perspektif. Medis, keuangan, dampak sosial dan sebagainya. Semuanya dikalkulasi sedemikian rupa sehingga lahirlah kebijakan-kebijakan untuk penanggulangan penyebarluasan virus corona. Mulai dari kebijakan untuk meliburkan semua sekolah, meniadakan ujian nasional, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hingga kebijakan bantuan sosial bagi masyarakat kecil yang terdampak. Itulah berpikir tingkat tinggi yang dilakukan pemerintah.
 Para ulama pun demikian. Mereka mengeluarkan fatwa-fatwa untuk melindungi masyarakat dari penyebaran wabah virus corona. Sebagai contoh, para ulama menghimbau untuk melaksanakan shalat jamaah di rumah dan shalat Jumat diganti dengan shalat dzhuhur. Shalat Jumat adalah kewajiban agama bagi setiap Muslim yang sehat. Tetapi, bila dalam kondisi darurat, shalat Jumat bisa diganti dengan shalat dzuhur. Dalam pandangan Islam, hal utama dalam agama atau tujuan disyariatkannya agama adalah menjaga dan melindungi keselamatan jiwa (hifdzu al-nafs). Kaidah yang digunakan adalah adalah mencegah bahaya lebih didahulukan ketimbang mendapatkan kemaslahatan (daf’u al-mafâsid muqaddamun min jalbi al-mashâlih). Kaidah yang lain adalah tidah boleh membahayakan diri dan membahyakan yang lain (lâ dhirâra wa lâ dhirâra). Berdasarkan pandangan ini, maka shalat Jumat kalau dianggap membahayakan boleh ditiadakan dan diganti dengan shalat zhuhur di rumah. Apalagi shalat jamaah biasa di masjid yang hukumnya sunnat. Dalam kondisi darurat (membahayakan) dapat dilaksanakan di rumah. Itulah berpikir tingkat tinggi dalam keagamaan untuk penanggulangan wabah virus corona.

Belajar Filfasat untuk Melatih Berpikir Tingkat Tinggi
Dengan demikian, belajar berpikir tingkat tinggi merupakan tuntutan abad pengetahuan modern atau postmodern sekarang ini. Tanpa belajar berpikir tingkat tinggi, maka kehidupan sosial, keagamaan dan bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara akan terus terbelakang. Malah akan membahayakan dan mengancam peradaban bangsa itu sendiri. Nah, disinilah pentingnya belajar filsafat. Melalui filsafat, kita dapat belajar bagaimana mengembangkan cara berpikir tingkat tinggi itu. Ingat, belajar berpikir tingkat tinggi atau juga dikenal dengan kemahiran abad ke-21, yakni berpikir kritis (critical thinking) dan problem soulving ini, bukan hanya untuk menghadapi pandemi covid-19 saja. Tetapi, untuk menyelesaikan masalah-masalah hidup keseharian. Baik masalah keluarga, masalahan kekerasan pada anak, masalah penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba), masalah penyimpangan dan pelecehan seks, hingga masalah pekerjaan di kantor dan masalah sosial lainnya. Semua itu, sekali lagi, memerlukan dan menuntut untuk berpikir tingkat tinggi. Dan filsafat akan melatih kita untuk berpikir tingkat tinggi itu. Jadi, mari belajar filsafat. Allahu a’lam.


Belum ada Komentar untuk "Materi Filsafat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel